Seni & Budaya

Avidya: Merayakan Kebebasan Seni melalui Ketidaktahuan di Bali

Denpasar, RealitasBali – TAT Space di Denpasar menjadi saksi gelaran seni unik bertajuk Avidya (Ketidaktahuan), yang diselenggarakan oleh Komunitas Room 8 pada Sabtu (12/7/2025).

Acara ini menggabungkan seni rupa dan pertunjukan dalam eksplorasi kreatif yang mengusung tema ketidaktahuan, mengajak para seniman dan penonton untuk merangkul keterbatasan pengetahuan sebagai pendorong inovasi seni.

Latar Belakang Komunitas Room 8 dan Konsep Avidya

Komunitas Room 8, yang digagas oleh kelompok perupa muda Bali seperti #PK, Paguyuban 777, Inferno, Wita Media, dan SenMur, berfokus pada eksplorasi seni melalui sharing dan workshop.

Mereka mengejar kemungkinan baru dalam visualisasi dan kajian teoritis seni, dengan keanekaragaman metode penciptaan yang menghasilkan karya-karya beragam.

Tema Avidya, yang berarti ketidaktahuan dalam bahasa Sanskerta, terinspirasi dari filsuf Yunani kuno, Socrates, yang menyatakan, “Saya tahu bahwa saya tidak tahu apa-apa.” Konsep ini menekankan kerendahan hati intelektual dan dorongan untuk terus belajar.

Dalam konteks seni, avidya menjadi pemicu eksplorasi kebebasan berekspresi, di mana ketidaktahuan mendorong manusia mencari makna melalui asmita (egoisme) hingga raga-dvesa (suka-tidak suka).

“Jika kita menyadari bahwa banyak hal yang tidak kita tahu, maka kita sudah masuk pada sebuah konsep Avidya yang akan membawa kita kepada sebuah pilihan,” demikian penjelasan dalam konsep acara.

Pilihan ini memicu keingintahuan, membuka ruang untuk eksperimen seni yang menggabungkan berbagai disiplin seperti tari, karawitan, teater, musik, dan video.

Dari kiri I Gede Adi Surya, M.Sn, I Gede Jaya Putra, M.Sn, Ni Kadek Novi Sumariani, S.Ds., M.Ds, Ayu Bindhu Dita Agustini, I Wayan Gede Budayana, M.Sn. (Dok: Rahma).
Dari kiri I Gede Adi Surya, M.Sn, I Gede Jaya Putra, M.Sn, Ni Kadek Novi Sumariani, S.Ds., M.Ds, Ayu Bindhu Dita Agustini, I Wayan Gede Budayana, M.Sn. (Dok: Rahma).

Format Unik: Mengaburkan Batas Seni Rupa dan Pertunjukan

Acara ini melibatkan lima kelompok seniman dengan total 22 orang dari berbagai latar belakang, termasuk seni rupa murni, desain komunikasi visual, musik, teater, dan fotografi.

I Gede Jaya Putra, M.Sn, dosen Fakultas Seni Rupa ISI Bali, menjelaskan visi acara. “Untuk kegiatan hari ini sebenarnya kita membuat sebuah formulasi yang berbeda terkait dengan bagaimana menampilkan sebuah event yang kita sendiri sebenarnya tidak tahu event ini apakah lebih condong pada pertunjukannya atau event pameran seni rupanya.”

Ia menambahkan bahwa tujuan utama adalah menciptakan “skena baru” dalam seni rupa Bali, dengan harapan menghasilkan dekonstruksi—struktur baru yang tidak sekadar kolaborasi atau dominasi salah satu disiplin

Kelompok Satu: Jamming Instalasi dan Suara

Kelompok pertama, terdiri dari I Wayan Gede Budayana, Tuki Grey, dan Edi Wei, menghadirkan instalasi seni rupa yang dikombinasikan dengan performa musik.

“Tadi yang kelompok satu, saya sama Edi itu bikin karya instalasi, Tuki main bass sama efek-efek suara gitu,” ungkap Budayana.

Mereka merespons karya secara spontan, menambahkan elemen seperti teks, benang, dan alat musik tradisional Bali, gongseng.

Kelompok Dua: Keluar dari Zona Nyaman

Kelompok kedua, dengan enam seniman, menampilkan karya berjudul Tumbuh, yang menggambarkan tiga fase kehidupan: anak-anak, remaja, dan dewasa. Ni Kadek Novi Sumariani, M.Ds, menjelaskan, “Jadi kita semua keluar dari zona nyaman kita.” Seorang perupa membaca puisi, pelukis menari, dan desainer merespons kain sebagai kanvas baru, menciptakan karya yang tidak terprediksi.

Kelompok Tiga: Topeng dan Koreografi

Dengan sembilan seniman, kelompok ketiga mengangkat tema kelahiran manusia melalui instalasi pohon dan topeng. Ayu Bindhu Dita Agustini, ketua panitia, mengatakan, “Penampilan tadi kita mengangkat tentang kelahiran manusia yang lahir ke dunia tanpa tahu apa-apa gitu.”

Tiga penari memadukan koreografi dengan elemen seni rupa, menciptakan harmoni antara topeng dan gerakan tari.

Kelompok Empat: Merayakan Pertiwi dengan Sampah

Kelompok keempat, terdiri dari Jaya Putra, Agung Wijaya, Jyoti, dan Yedija, menghadirkan karya berjudul Plastik Sunyi Bernyanyi. “Kulihat taman sunyi hijau diam menyapa, diselah harum bunga plastik sunyi bercerita,” kutip Jaya Putra dari lirik karya tersebut.

Mereka menggunakan sampah sebagai simbol kehidupan manusia, dikombinasikan dengan fotografi, musik, dan teater untuk merayakan pertiwi secara tak konvensional.

Kelompok Lima: Ketidakberkaitan yang Harmonis

I Gede Adi Surya, M.Sn., seniman tunggal di kelompok kelima, menghadirkan instalasi dari bekas karya sebelumnya.

“Semuanya itu tidak berkaitan sebenarnya tapi karena tema sekarang ketidaktahuan saya berusaha mengisi ruang itu dengan membenturkan ketidakberkaitan itu,” ujarnya.

Pendekatan ini menciptakan ruang untuk mencari benang merah dari ketidakberkaitan.

Tantangan dan Proses

Persiapan Persiapan acara dimulai sejak Maret 2025, meski latihan intensif hanya dilakukan selama dua minggu karena kesibukan seniman. “Jadi memang yang lama itu adalah pada saat memformulasikan memikirkan itu, cocok sing cocok sing gitu kalau bahasa balinya,” ungkap Jaya Putra.

Tantangan utama adalah memastikan acara memiliki “daya tawar” yang kuat untuk memperjuangkan wacana baru dalam seni Bali.

Tujuan dan Harapan ke Depan Acara ini bertujuan menggugah kesadaran akan ketidaktahuan sebagai pendorong kreativitas, sekaligus menolak stagnasi dalam berkarya.

Budayana menegaskan, “Statement saya, saya menolak stagnasi itu. Menolak untuk mengulang pola-pola yang sama karena sungguh itu membosankan.”

Komunitas Room 8 berharap acara ini menjadi awal dari pembentukan komunitas yang lebih solid, dengan rencana menggelar sarasehan tiga minggu mendatang dan pameran penutup yang akan dirangkum dalam post-catalog.

“Semoga itu juga sebenarnya masih tidak tahu kita tapi itulah spirit kita ketemu sebenarnya,” kata Jaya Putra, menegaskan semangat eksplorasi yang terus berlanjut.

Meski belum ada kolaborasi dengan pemerintah, Adi Surya menyatakan, “Gak tau ya. Bahasanya tadi, kita itu terkucilkan. Terlirik atau enggak gak tau juga. Avidya juga.”

Avidya (Ketidaktahuan) bukan sekadar pameran seni, melainkan perjalanan eksperimental yang mengaburkan batas antara seni rupa dan pertunjukan.

Dengan pendekatan yang rendah hati terhadap ketidaktahuan, Komunitas Room 8 memperjuangkan gagasan “mempertunjukkan seni rupa,” di mana karya visual tidak hanya dipamerkan secara statis, melainkan dihidupkan melalui gerak, suara, dan interaksi performatif.

Pendekatan ini, sebagaimana diungkapkan Jaya Putra, “mengaburkan wilayah kesepakatan” untuk menciptakan diksi baru dalam seni Bali, mengundang penonton untuk menikmati karya sekaligus menafsirkan makna melalui pengalaman dan ketidaktahuan masing-masing.

Acara ini menjadi langkah awal untuk merumuskan wacana seni kontemporer yang dinamis, dengan harapan terus bergulir melalui diskusi dan eksplorasi berikutnya. (drh)

Related Articles

Back to top button