Pemprov Dilema Pulangkan Warga Bali Korban Kasus Perdagangan Orang
RealitasBali – Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali dalam kondisi dilema untuk membiayai kepulangan pekerja migran yang menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Bali Dewa Made Indra menyebut, jika hal tersebut dilakukan, pihaknya dianggap membenarkan tindakan mereka yang berangkat ke luar negeri melalui agen penyalur tenaga kerja ilegal.
Selain itu, Dewa Indra juga khawatir apabila dibiayai kepulangannya, kasus serupa akan kembali terjadi karena tidak merasa takut menjadi pekerja migran ilegal.
“Kalau Pemprov Bali biayai ini dilema di sisi lain dia warga Bali, harus kita lingdungi, di sisi lain kita membenarkan mendukung orang berangkat secara ilegal. Nanti orang enggak takut berangkat ilegal, ada masalah nanti Pemprov Bali biayai pulang,” ucap Dewa Indra.
Lebih lanjut, birokrat asal Desa Pemaron ini mengaku heran karena masih ada warga Bali menjadi korban TPPO dengan diiming-imingi kerjaan di luar negeri.
Padahal, Pemprov melalui Dinas Ketenagakerjaan dan ESDM sudah melakukan sosialisasi agar masyarakat Bali yang hendak bekerja ke luar negari harus melalui penyalur tenaga kerja resmi.
“Saya juga bingung, kok sekarang masih ada aja orang yang mau berangkat kerja ke luar negeri diiming-imingi oleh orang tanpa melakukan konfirmasi apakah ini agen resmi,” ucap Dewa Indra lagi.
“Kalau yang berangkat dengan agen resmi ada masalah, misalnya, itu pasti menjadi tanggung jawab agen resminya. Sudah begitu tercatat di BP2MI di Jakarta, tercatat di Kemenlu melalui kedutaan besar kita, perwakilan negara kita di sana. Jadi perlindungan lebih mudah karena diketahui posisinya di perusahaan mana, pekerjaannya apa, gajinya berapa,” jelasnya.
Sebelumnya, video yang menunjukkan warga negara Indonesia (WNI) asal Bali yang diduga menjadi korban perdagangan orang di luar negeri beredar di media sosial.
Dalam video tersebut, terlihat sejumlah orang yang ditempatkan di sebuah mes dengan kamar tidur tingkat.
Si perekam video mengatakan, mereka adalah korban perdagangan orang dan dipekerjakan selama 15 jam serta kerap mendapat siksaan.
“Kami disekap di sini. Tidak bisa ke mana-mana. Disuruh kerja 15 jam. Kalau tidak capai target kami dipukul, disiksa, disetrum,” ujar si perekam dikutip, Selasa (3/9/2024). (red)