78 Karya Seni Dipamerkan dalam Suar Samsara
RealitasBali – Pameran seni rupa bertajuk Suar Samsara digelar selama dua minggu, pada 14-28 September di TAT Art Space, Denpasar.
Pameran yang mengangkat tema “Rewrite The Lore” ini merupakan hasil kolaborasi antara komunitas Jongsarad dan Buana Alit.
Kegiatan ini turut memamerkan 78 karya seni dari 22 artist yang ikut ambil bagian dalam Suar Samsara.
Yang unik dalam acara ini adalah, media lukis berupa kertas yang didaur ulang.
“Jadi awalnya cuma iseng-iseng aja ngobrol saat kita sedang pameran di bulan Mei. Kebetulan Novi (Ni Kadek Novi Sumaryani, Ketua Komunitas Seni Rupa Buana Alit) kan juga pingin bikin pameran dengan kertas daur ulang.
“Yaudah kita kolaborasi aja gitu. Jadi awalnya dari kertas daur ulang dulu, baru kita kembangin konsepnya ke Samsara. Jadi judulnya ke Suar Samsara,” ucap Sekretaris Jongsarad, Sabtu (14/9/2024).
Hal menarik lain dari gelaran pameran seni rupa ini adalah, pemilihan tema Rewrite The Lore yang terinspirasi dari karakter kartu tarot.
“Selain Suar Samsara kertas daur ulang itu, kita juga pakai tema Rewrite The Lore, di mana Rewrite The Lore itu kita pakai tarot, kartu tarot. Yang jumlahnya 76 itu, itu kan ada kartu Major sama Minor. Jadi kita pilih jumlah artis yang 22 orang itu dari jumlah kartu Major Arcana dari tarot itu”, jelas Prangga.
Sementara, Novi tak menyangka pameran dengan media kertas daur ulang kali ini menghasilkan karya yang ornamental.
“Ya, aku juga kaget banget karena karyanya keren-keren, karena satu seniman itu bikin 3-4 karya, itu dengan judul yang berbeda tapi temanya satu, ke tarot, kayak gitu,” katanya.
Acara ini tak hanya serta merta memamerkan karya seni rupa saja, tetapi juga penggalangan dana.
“Jadi hasil dari lelang, 70 persennya akan kita berikan kepada yayasan Kupu-Kupu Learning Center yang berada di Sidan, Gianyar”, jelas Novi yang masih melanjutkan studi S2nya di ISI Denpasar ini.
Salah satu tamu yang hadir, Ilustrator digital yang telah bergelut selama 20 tahun, Ida Bagus Ratu Antoni Putra yang kerap disapa Mones, mengatakan, pameran seni rupa dari kertas daur ulang merupakan pertama kali yang ia saksikan.
“Belum, ini baru pertama kali saya lihat ya. Biasanya kalau pameran kolektif seperti ini, masing-masing seniman sudah punya kanvas sendiri gitu.
“Tapi ini berkarya iya, tapi juga memberikan makna baru bagi kertas daur ulang gitu. Itu kan seperti apa ya, itu mengajarkan kita bahwa sesuatu yang sudah berakhir itu ada nafas baru setelah kita meresponnya gitu”, jelas Mones.
Lebih lanjut, ia sangat mengapresiasi kolaborasi antara seniman lintas generasi yang hadir dan ikut serta dalam gelaran ini.
“Jadi situasi semacam ini perlu ditumbuhkembangkan lagi, sehingga gap antara yang senior dan junior itu mulai dileburkan”, tambahnya.
Di sisi lain, Mones menyebutkan, perhatian pemerintah daerah terhadap seni digital masih minim.
Hal tersebut membuat karya seni kontemporer ini kurang diminati oleh masyarakat.
“Berbeda dengan kalau seni tradisi itu memang sudah pemerintah Bali, masyarakat Bali itu sudah tahu bagaimana mengapresiasi itu. Karena memang Bali sebagai destinasi pariwisata tumbuh besar dengan tradisi termasuk seni lukis tradisional itu”, tegas Mones.
Mones sendiri mengatakan, perlu adanya apresiasi dari pemerintah berupa kehadiran fisik yang masih dirasa sangat diperlukan. Karena menurutnya, yang ada di Bali saat ini, di dunia ini cuma ada di Bali saja.