News

AI dalam Dunia Humas: Peluang dan Tantangan Menuju Komunikasi Berbasis Etika

RealitasBali – Era kecerdasan buatan (AI) telah membawa perubahan besar dalam lanskap komunikasi global, termasuk dalam dunia hubungan masyarakat (humas). Namun, bagaimana AI bisa mendukung praktik humas tanpa kehilangan sentuhan manusiawi dan etika? Pertanyaan ini menjadi salah satu fokus diskusi di hari kedua World Public Relations Forum (WPRF) 2024 yang digelar di Merusaka, Nusa Dua, Rabu (20/11/2024).

Presiden Global Alliance, Justin Green, menegaskan bahwa kecerdasan buatan tidak akan menggantikan peran manusia dalam komunikasi. Sebaliknya, mereka yang tidak mampu memanfaatkan AI justru berisiko kehilangan relevansi.

“AI tidak akan mengambil pekerjaan. Orang yang tidak tahu cara menggunakan AI akan kehilangan pekerjaan. AI tidak akan pernah tahu bagaimana rasanya membeli rumah. Memiliki keluarga yang tumbuh besar di rumah itu, dan kemudian kehilangan rumah itu karena bencana alam,” jelas Justin.

Dalam praktik humas, AI saat ini sudah banyak digunakan untuk mengolah data, memahami tren, hingga memprediksi perilaku audiens. Namun, tantangan etis muncul ketika AI digunakan untuk menciptakan narasi yang bisa saja bias atau tidak transparan.

Kata Justin, Global Alliance dan seluruh anggotanya terikat oleh kode etik global dan prinsip-prinsip penggunaan AI yang etis dan bertanggung jawab, yang akan membawa profesi humas ke masa depan.

Kode etik ini mendorong praktisi humas untuk menggunakan AI sebagai alat pendukung, bukan sebagai pengganti keputusan manusia. Misalnya, AI dapat membantu menganalisis respons audiens terhadap kampanye, tetapi strategi dan pesan utama tetap harus dirancang oleh manusia yang memahami nilai-nilai etis dan kearifan lokal.

Boy Kelana, Ketua Umum Perhumas Indonesia, juga menyoroti pentingnya komunikasi yang bertanggung jawab di tengah maraknya penggunaan teknologi.

“Komunikasi yang bertanggung jawab berarti kita harus mampu mengelola informasi dengan bijak, menghindari penyebaran berita palsu, dan memastikan bahwa kita berkontribusi dalam diskusi yang konstruktif, mempromosikan inklusi dan keragaman,” ungkap Boy.

Di Indonesia, adopsi AI dalam humas menghadapi tantangan besar, termasuk literasi teknologi yang belum merata, keterbatasan regulasi, dan potensi penyalahgunaan data. Karena itu, Perhumas mendorong para praktisi untuk terus meningkatkan kapasitas dan memahami kode etik global dalam penggunaan AI.

Seiring meningkatnya adopsi AI, peran kecerdasan emosional manusia semakin penting dalam dunia humas. Justin Green menyebutkan bahwa komunikasi yang efektif bukan hanya tentang menyampaikan fakta, tetapi juga memahami pengalaman dan emosi audiens.

“Masa depan kecerdasan buatan adalah kecerdasan emosional,” tegasnya. Dalam konteks ini, praktisi humas diharapkan mampu mengintegrasikan AI sebagai alat bantu, sambil tetap memprioritaskan nilai-nilai kepercayaan, empati, dan keberlanjutan dalam setiap strategi komunikasi.

WPRF 2024 menjadi momentum bagi para pemimpin global untuk merenungkan masa depan AI dalam humas. Dengan pendekatan yang bertanggung jawab, AI dapat menjadi katalis perubahan positif tanpa mengorbankan esensi manusia dalam komunikasi. (drh)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button