Gubernur Koster: Bali Perlu Reformasi OSS agar Daerah Punya Kewenangan Jaga Ekonomi Lokal

Denpasar, RealitasBali – Gubernur Bali, Wayan Koster, menegaskan perlunya reformasi sistem Online Single Submission Risk-Based Approach (OSS RBA) agar lebih sinkron dengan kondisi dan karakteristik daerah, khususnya Bali yang padat investasi dan memiliki struktur sosial-budaya yang unik.
Hal ini disampaikan saat memimpin rapat koordinasi evaluasi OSS RBA bersama Sekretaris Daerah Provinsi Bali, Dewa Made Indra, jajaran Dinas PMTSP kabupaten/kota se-Bali, serta Tim Pengkaji Regulasi OSS di Ruang Rapat Kertasabha, Jayasabha, Denpasar, Rabu (8/10/2025).
Rapat tersebut membahas sejumlah persoalan yang muncul dalam pelaksanaan OSS RBA, mulai dari ketidaksinkronan antara regulasi pusat dan daerah, lemahnya sistem verifikasi izin, hingga dampaknya terhadap kemandirian ekonomi masyarakat Bali.
Menurut Koster, akar persoalan OSS RBA terletak pada ketidakharmonisan norma antara pusat dan daerah.
“Norma yang diatur di BPP dan undang-undang pusat berlaku umum, padahal di bawah kita punya perda RTRW dan RDTR yang seharusnya jadi acuan utama. Akibatnya, izin usaha bisa keluar meskipun melanggar tata ruang,” tegasnya.
Ia menilai sistem perizinan yang berjalan otomatis justru menghilangkan peran penting pemerintah daerah. Bahkan, izin Penanaman Modal Asing (PMA) bisa terbit tanpa verifikasi dari pemerintah kabupaten atau kota.
“Dengan modal hanya 10 miliar, banyak investor asing leluasa masuk. Padahal angka itu sering hanya tercatat di atas kertas. Praktiknya di lapangan bisa di bawah 1 miliar, tapi mereka sudah menguasai jenis-jenis usaha rakyat,” ujarnya.
Koster mencontohkan, di Kabupaten Badung saja terdapat lebih dari 400 warga asing yang memiliki usaha rental kendaraan, belum termasuk usaha bahan bangunan dan kuliner di lahan milik warga lokal.
“Kalau dibiarkan, pelaku luar akan membanjiri sektor ekonomi kita. Ruang usaha anak-anak Bali diambil, ekonomi rakyat akan lumpuh,” katanya.
Ia juga menyoroti lemahnya pengawasan di tingkat daerah yang berdampak langsung pada pelanggaran tata ruang. “Kewenangan kabupaten/kota terbatas, RDTR banyak yang belum lengkap. Akibatnya izin bisa terbit di kawasan yang seharusnya dilindungi,” ujarnya.
Koster menyinggung pula maraknya minimarket berjaringan yang berdiri berdekatan di kawasan padat penduduk.
“Coba lihat, di satu jalan bisa tiga sampai empat minimarket berdampingan. Kalau ini terus dibiarkan, warung kecil dan usaha lokal kita akan mati semua,” tegasnya.
Ia menilai Bali membutuhkan norma khusus dan kewenangan lebih besar dalam pengaturan investasi, mengingat karakter ekonominya berbeda dari daerah lain.
“Bali tidak bisa dipukul rata dengan daerah lain. Kita harus naik kelas, butuh norma yang berbeda dan kewenangan yang lebih besar di daerah,” tegas Gubernur Koster.
Sementara itu, Sekda Provinsi Bali Dewa Made Indra menambahkan bahwa akar persoalan OSS RBA juga disebabkan oleh hilangnya dua tahapan verifikasi dalam proses perizinan.
“Sekarang izin bisa keluar hanya dengan surat pernyataan, tanpa pembuktian. Tidak ada verifikasi modal, lokasi, atau kelengkapan dokumen. Semua berjalan otomatis,” jelasnya.
Ia menyoroti sektor pariwisata, yang menurutnya berisiko tinggi namun justru diklasifikasikan sebagai risiko rendah dalam sistem OSS.
“Banyak izin pariwisata keluar tanpa pengawasan, bahkan bangunan berdiri di sempadan sungai dan pantai. Seharusnya sektor pariwisata di Bali dikategorikan risiko tinggi, karena dampaknya besar terhadap lingkungan dan masyarakat,” tegas Dewa Indra.
Baik Gubernur Koster maupun Sekda Dewa Indra sepakat bahwa ambang batas modal PMA sebesar Rp10 miliar sudah tidak relevan untuk Bali.
“Bagi Bali yang nilai ekonominya tinggi, angka 10 miliar itu terlalu rendah. Kita usulkan dinaikkan menjadi 100 miliar agar investor asing yang masuk benar-benar berkualitas,” ujar Koster.
Ia menambahkan, banyak izin investasi selama ini hanya bersifat formalitas administratif tanpa realisasi di lapangan.
“Inilah yang membuat investasi asing membanjiri sektor kecil yang seharusnya menjadi ruang hidup pelaku lokal,” pungkasnya. (drh)







